Kudsi

AKIDAH LEVEL 1

Iman Kepada Takdir

 

Di saat senang, lapang, sehat, aman, dan serba kecukupan, sebagian manusia berbuat semena-mena, sombong, berfoya-foya, lalai, dan lupa akan ibadah kepada Allah.

 

Di saat susah, sempit, sakit, takut, dan serba kekurangan, sebagian manusia berputus asa, bertambah kesedihannya, marah, jengkel, dan pada akhirnya menuduh sang pencipta bahwa Ia telah menyengsarakannya.

 

Sikap yang tergambar dari dua keadaan yang berbeda di atas, menunjukkan begitu lemahnya iman kepada takdir Allah. Karena bila seseorang beriman kepada takdir Allah dengan benar, maka ia akan meyakini bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, pengatur dan pemeliharanya, yang menentukan segala takdirnya, baik dan buruknya, manis dan pahitnya, dan Dia jualah yang menciptakan kesesatan dan hidayah, celaka dan bahagia.

 

Ketika senang dan lapang, seorang mukmin akan bersyukur dengan meningkatkan ibadah dan ketakwaannya kepada Allah, begitu juga dalam keadaan susah dan sempit ia akan selalu sabar, berbaik sangka kepada Allah, dan optimis dengan kemudahan yang telah Allah janjikan.

 

Mengapa demikian?

 

Karena imannya kepada takdir Allah mengingatkannya bahwa:

 

  • Allah Subhanahu wata’ala mengetahui segala sesuatu yang terjadi, baik yang berkaitan dengan perbuatanNya atau yang terkait dengan perbuatan hambaNya, secara menyeluruh dan terperinci. Tiada yang luput dari pengetahuanNya.
  • Allah Subhanahu wata’ala telah menulis seluruh apa yang akan terjadi di lauh mahfudz [catatan seluruh takdir yang akan terjadi hingga hari akhir nanti].
  • Semua yang ada dan terjadi di alam ini terwujud atas kehendak Allah dan tidak ada yang dapat menghalangi kehendakNya.
  • Semua yang ada dan terjadi selain Allah adalah makhluk ciptaanNya, baik zat, sifat, dan gerak-geriknya. Allah yang menciptakan kemudahan dan kesusahan, kelapangan dan kesempitan, sehat dan sakit. Sudah tentu semua ciptaanNya tidak terlepas dari keadilan dan kebijaksanaanNya.

 

Keempat hal di atas adalah rukun iman kepada takdir Allah Subhanahu wata’ala, bila salah satunya tidak ada, niscaya keimanannya kepada takdir Allah tidak sempurna.

 

Ada benarnya ungkapan “iman itu tidak bisa dijual atau diwariskan”, karena iman bukan sekedar angan-angan dan pengakuan belaka, iman ibarat tunas yang tertanam dalam hati, akan tumbuh besar dan kokoh manakala senantiasa dipupuk dengan ilmu-ilmu al-Quran dan sunnah, serta terjaga dan terpelihara dari serangan hama dosa dan maksiat yang bisa merusak, sehingga pohon iman tersebut mampu membuahkan perbuatan dan ucapan yang manis dan indah, bermanfaat bagi makhluk Allah Subhanahu wata’ala.

 

Bila kita sangat menjaga harta kita yang paling berharga, maka ketahuilah hanya iman yang paling berharga di sisi Allah.

 

Bila kita bersungguh-sungguh meraih kesempurnaan harta, jabatan, dan kenikmatan di dunia, maka seharusnya kita lebih bersungguh-sungguh meraih kesempurnaan iman, karena iman adalah sumber kenikmatan di dunia dan akhirat.

 

Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita untuk menjaga dan meningkatkan keimanan, hingga kita ditempatkan bersama orang-orang yang benar imannya.